Sabtu, 04 Desember 2010

Desa Jaddih, Sentra Kerajinan Sangkar Burung


TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO Interaktif, Bangkalan  - Adzan Isyak berkumandang dikejauhan. Simin, 38 tahun, bergegas sholat Isyak di langgar. Sejurus kemudian, isrtrinya Homriyah menyusul. Selesai berdoa, dia kembali duduk disebuah dingklik (bangku panjang) depan langgar, menyeruput kopi, menyalakan rokok dan memulai kembali rutinitasnya memotong rotan dan bambu untuk membuat sangkar burung perkutut.


"Ya beginilah kerjaan saya, tiada hari tanpa membuat sangkar burung," kata warga Desa Jaddih Timur, Kecamatan Socah, Bangkalan, Minggu (14/11) kemarin kepada Tempo.

Simin hanyalah satu dari sekitar 1500 keluarga pengrajin sangkar burung kitiran di Desa Jaddih yang terletak sebelah tenggara pusat kota Kabupaten Bangkalan, sekitar setengah jam perjalanan. Tidak ada angkutan umum, satu-satunya transportasi yang tersedia hanyalah dokar. Jalan utama ke Desa Jaddih memang sudah beraspal, tapi penuh kubangan.

Pesanan yang padat dan kerja yang penuh target, membuat Simin hanya punya sedikit waktu luang untuk bersantai. Sejak dari selesai sholat subuh, kerja membuar sangkar burung dimulai sampai sekitar jam 10 malam baru kegiatan berhenti. Begitu terus menerus setiap hari. Agar tak bosan, alunan lagu-lagu dangdut “koplo” dari compac disc atau handphone menjadi penawar.

"Saya tidak kerja kalau ada undangan manten, mengantar anak sekolah atau ada keperluan ke luar rumah yang sangat penting, kalau tidak ada yang dirumah saja buat sangkar," tuturnya.

Tidak banyak yang tahu kalau sangkar burung perkutut yang tersebar di berbagai toko di berbagai daerah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang atau di Bali, Yogyakarta hingga Jakarta merupakan buah tangan orang Desa Jaddih.

Keterampilan tersebut sudah diwariskan turun temurun dan hingga kini menjadi penggerak utama perekonomian warga Jaddih selain bertani dan membakar batu kapur.

"Alhamdulilah hasilnya lumayan, walau tak sebesar sebelum wabah flu burung melanda, cukup buat makan dan sekolahkan anak," ungkap Simin.

Sirat, seorang bos pengepul sangkar burung di DesaJaddih menuturkan, satu buah sangkar burung perkutut dari pengrajin dihargai Rp. 14 ribu perbuah. harganya memang tergolong murah, tidak sesuai ruwetnya pekerjaan. Sangkar burung dibeli murah, kata dia, karena sangkar yang dihasilkan masih dalam bentuk setengah jadi. Artinya masih polos, hanya berupa rangkaian bambu dan rotan.

Lewat pengepul seperti Sirat inilah, sangkar dikirim ke pedagang di Malang. Di sanalah bentuk kurung disempurnakan menjadi lebih indah. Kurung dicat dengan beragam warna dan lukisan sebagai hiasan. Setelah proses permak selesai, harganya melangit.

Dari Malang, sangkar yang sudah jadi kemudian disebar lagi ke berbagai daerah,  mulai dari Bali, Yogyakarta,  hingga Jakarta. "Kalau sudah dipermak harganya bisa berkisar antara Rp. 60 sampai Rp. 500 ribu perbuah," ujarnya.

Untuk jenis sangkar burung yang dibuat Simin, kata Sirat, masuk kategori biasa karena bahannya campuran rotan dan bambu. Sedang sangkar burung kategori super, semua bahannya terbuat dari bambu dan proses pembuatannya pun lebih lama. Harga sangkar super setengah jadi mencapai Rp 100 ribu perbuah.

"Kalau sangkar biasa, sebulan saya bisa membuat 30 pasang, tapi kalau sangkar super sebulan kalau rajin bisa sepuluh buah," kata Simin.

KH. Jauhari tokoh masyarakat Jaddih menuturkan, saat ini bisnis sangkar tidak semanis beberapa tahun lalu. Sebabnya, banyak pengrajin – terutama para generasi mudanya - memilih merantau. mulai dari ke Jakarta, Kalimantan hingga Papua atau menjadi tenaga kerja ke Malaysia atau Arab Saudi.

Hijrahnya pengrajin  ke luar pulau itu karena sepinya pesanan terutama sejak wabah flu burung melanda. Akibatnya, bisnis sangkar burung sempat mandeg hampir setahun.

"Saya yang bertahan membuat kurung sampai sekarang, dulunya sudah pernah merantau, tapi tidak berhasil dan kembali, kemudian membuat kurung lagi," ujar Simin.

MUSTHOFA BISRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar