Minggu, 05 Desember 2010

Dendang dari Kedai Tuak

Lusiana Indriasari

”Saudara-saudara di perantauan. Ada permintaan menyanyikan lagu dangdut. Inilah dia ’Si Abang Ganteeeng’….” Begitu pembawa acara selesai menyampaikan pengantar, Rani Simbolon pun mulai menyanyikan lagu ”Si Abang Ganteng” dengan irama dangdut Batak.

Mula mulani Hutanda ho, Mallobok Tarottoki

Gabe Laos Targoda Au Tuho, Ala Hagantengonmi….

Berbalut rok terusan warna perak mengilap yang menempel ketat di tubuhnya nan sintal, Rani bernyanyi sambil berjoget diiringi alat musik hasapi, margondang, dan keyboard. Empat penari latar menemaninya berjoget ria.Di kalangan masyarakat Batak yang tinggal di sekeliling Danau Toba, nama Rani cukup tenar. Ia dikenal bukan karena ia anak Charles Simbolon, personel grup musik Trio Ambisi yang ngetop di Jakarta, melainkan karena wajahnya sudah ”beredar” di mana-mana melalui video cakram padat yang tersebar hingga ke pelosok desa, seperti Ambarita, Hutabolon, atau Tuk Tuk di Pulau Samosir.

Di VCD berjudul Tor Tor Parmabuk Album Ubat Ni Stress, Rani tampil bersama grup musik Tor Tor Parmabuk. Selain Rani, penyanyi lain yang mengisi album ini adalah Titin Ginting, Simbolon Sister, Trio Silopak, dan lain-lain.

”Hari ini dia datang tidak ya...,” kata Marbun (50), seorang perempuan warga Kota Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Ia berharap Rani malam itu ikut tampil meramaikan panggung Festival Danau Toba 2010 di Kota Parapat, akhir bulan Oktober lalu.

Sementara Heni Sidabutar (18) jauh-jauh datang dari Medan ke Danau Toba untuk melihat penampilan Marsada Band.

Lekat budaya

Begitulah ciri khas masyarakat Batak. Mereka begitu lekat dengan budayanya. Budaya yang paling lekat dengan orang Batak adalah menyanyi.

Di Danau Toba kelekatan itu begitu terasa. Sepanjang perjalanan dari Medan-Parapat-Samosir, lagu-lagu Batak mengumandang di mana-mana. Mulai dari rumah makan, angkutan umum, warung kopi, kedai tuak, pelabuhan feri, hingga kafe-kafe di desa wisata Tuk Tuk, yang terdengar hanyalah lagu-lagu Batak dengan berbagai kemasan. Ada lagu pop Batak, dangdut Batak, reggae Batak hingga hip hop Batak. Bahkan, pengamen anak-anak di Danau Toba pun memilih mendendangkan lagu-lagu Batak daripada lagu-lagu pop yang sekarang sedang top.

Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Bungaran Antonius Simanjuntak, mengatakan, orang Batak, terutama dari subetnis Batak Toba, gemar bernyanyi karena faktor geografis. Pada masa lalu, jarak satu kampung dengan kampung lainnya maupun antara satu rumah dan rumah lainnya cukup jauh.

Tidak jarang sanak saudara mereka tinggal jauh di kampung seberang. Hal itu, kata Bungaran, membuat warga kerap merasa kesepian. ”Di tengah kesepian itu, mereka menciptakan lagu-lagu untuk menghibur diri,” tutur Bungaran.

Lagu-lagu yang diciptakan lebih banyak bertema keluarga, lingkungan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Dari lagu-lagu tadi, orang bisa tahu bahwa masyarakat Batak sangat menghormati keluarga, tanah kelahirannya, dan lingkungan alamnya serta Tuhan.

Pakter tuak

Budaya menyanyi dari rumah-rumah ini lalu berkembang di kedai-kedai tuak atau biasa disebut pakter tuak. Di pakter tuak inilah orang ingin melepaskan beban hidup dengan berkumpul lalu menyanyi bersama. Di situ mereka bisa menyanyi sepuasnya, entah itu menyanyikan lagu cinta, lagu tentang alam, atau lagu tentang perselingkuhan.

Di setiap pakter tuak selalu ada alat musik, minimal gitar. Untuk kedai tuak yang besar, alat musiknya lebih lengkap lagi, yaitu taganing, gondang, atau hasapi.

Di daerah Pelabuhan Ajibata, Kota Parapat, ada tujuh kedai tuak yang rata-rata buka sekitar pukul 19.00 hingga pukul 23.00. Di kota yang lebih besar lagi, semacam Siantar, sekitar 4 kilometer dari Parapat, kedai tuaknya lebih banyak lagi.

Betzon Sitinjak (35), yang bekerja sebagai sopir truk, hampir setiap malam berkumpul di kedai tuak di Ajibata. Ia biasa berkumpul di kedai tuak bersama teman-temannya yang bekerja di sekitar pelabuhan.

Begitu mulai banyak orang, mereka mengambil gitar yang disediakan pemilik warung, lalu bernyanyi. Betzon menyanyi dan spontan teman-temannya menimpalinya dengan suara dua atau suara tiga. Baling Manurung (40) yang suaranya mirip Eddy Silitonga kemudian ganti menyanyikan lagu-lagu Berlian Hutauruk.

Dari kedai tuak ini terbentuklah grup-grup penyanyi yang biasanya berformat trio. ”Untuk membentuk grup, mereka tidak perlu saling kenal. Begitu merasa suara masing-masing sudah cocok, biasanya mereka lalu sepakat untuk merantau bersama,” kata Martahan Sitohang (28), pemain musik etnik Batak. Kemampuannya memainkan musik tradisional Batak membawa Martahan menjelajah hingga ke Eropa dan China.

Bagi yang punya modal, grup-grup lokal ini kemudian membawa lagunya ke dapur rekaman. Stephen Chong, pemilik MMA Record di Medan, mengatakan, dalam satu bulan ia bisa menerima 3-4 orang yang ingin membuat album rekaman.

Lagu-lagu Batak pada kenyataannya bahkan tidak hanya diterima masyarakatnya sendiri, tetapi juga bisa diterima dunia. Grup musik Marsada Band dari Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, misalnya, pada tahun 2003 masuk dapur rekaman di Inggris. Mereka diajak oleh tamu yang berkunjung di sebuah kafe di Danau Toba, tempat Marsada Band biasa menghibur tamu. (Mohammad Hilmi Faiq/Mohamad Burhanudin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar