- Nia Kurniawati, 30 tahun, selalu cemas setiap menjelang jadwal imunisasi bayinya. Dia sebenarnya yakin akan manfaat imunisasi untuk mencegah penyakit membahayakan. Tapi gejala ikut-annya membuat dia miris. Setelah disuntik, anaknya selalu demam dan bekas suntikannya mengakibatkan kulit si kecil kemerahan. "Takut kenapa kenapa," kata pegawai sebuah kementerian itu. Apalagi Nia-juga banyak orang tua lain-mendengar cerita cerita miring tentang imunisasi, seperti berakibat demam yang berujung kejang atau radang, bahkan sampai ada yang meninggal.
Bahkan mereka menambah panjang daftar vaksin yang diberikan. Sebelumnya, hanya ada lima vaksin wajib dan sisanya bersifat dianjurkan. Kini sedikitnya 13 vaksin harus diberikan, di antaranya hepatitis B, polio, campak, influenza, dan hepatitis A. "Kini semua-nya wajib," ujar Soedjatmiko. Untuk itu, para pegiatnya berjuang memasyarakatkan adanya buku catatan imunisasi hingga orang berusia 18 tahun.
Pada dasarnya imunisasi bertujuan meningkatkan sistem kekebalan tubuh melawan penyakit tertentu. Imunisasi aktif dilakukan dengan cara menyuntikkan vaksin berupa kuman atau antigen yang sudah dilemahkan, kuman mati, atau bagian kuman dari suatu penyakit. Saat pertama antigen masuk, tubuh bereaksi membentuk antibodi. Nantinya, jika antigen selanjutnya masuk, tubuh sudah mempunyai memori sehingga membentuk antibodi lebih cepat dan lebih kuat. Sedangkan imunisasi pasif dilakukan dengan penyuntikan sejumlah antibodi untuk me-ningkatkan kadarnya di dalam tubuh. Dengan meningkatnya kekebalan tubuh, berderet penyakit, seperti campak, tetanus, kanker, dan saraf, bisa dicegah atau berkurang kefatalannya.
Proses kerja imunisasi seperti itulah yang memancing gejala seperti panas atau nyeri pada bekas suntikan-disebut juga reaksi simpang vaksin. "Wajar, seperti orang makan cabai kepedasan," kata Soedjatmiko. Menurut catatannya, reaksi simpang yang ringan sekitar 10 15 persen setiap pemberian vaksin. Adapun yang berat angka kejadiannya hanya satu per dua juta dosis vaksin yang diberikan.
Kejadian seperti demam, bengkak, dan kemerahan pada bekas suntikan itu bertahan satu sampai tiga hari. "Bisa di-kompres atau dengan obat penurun panas," ujar Soedjatmiko. "Demam bayi sampai 38,3 derajat Celsius masih belum mengkhawatirkan." Kadang imuni-sasi juga bisa menimbulkan bisul kecil bernanah yang akan pecah sendiri dan menjadi koreng. Adapun kejang kejang atau syok sangat jarang dijum-pai.
Reaksi simpang bisa juga dipicu oleh faktor penyimpanan vaksin atau cara penyuntikan yang kurang tepat. "Ada vaksin yang harus disuntikkan ke otot, tapi ada juga yang ke lemak," kata I Gusti Nyoman Gde Ranuh, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Tanpa imunisasi, kekebalan tubuh kewalahan menghadapi mikroorganisme pembawa penyakit yang ganas. Data Badan Kesehatan Dunia terbaru menunjukkan sedikitnya 1,4 juta bayi di bawah lima tahun meninggal per tahun akibat infeksi yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia, saat ini tercatat sekitar 30 ribu anak meninggal karena campak setiap tahun.
Untuk itulah program imunisasi terus digenjot. Setiap tahun imunisasi rutin diberikan ke 4,5 juta anak dan 4,9 juta ibu hamil. Imunisasi campak, yang menjadi tolok ukur pencapaian imunisasi, tahun lalu diberikan pada 92,1 persen dari total sasaran, meski sebarannya belum merata. "Ada daerah yang sulit dijangkau," kata Kepala Subdirektorat Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Josephine. Cakupan imunisasi tahun ini sampai September baru mencapai 66,1 persen.
Harun Mahbub
Senin, 29 November 2010
Wajib dan Dijamin Aman
Label:
majalah tempo
Perangkap Dan Brown
Dengan kalem, Vittoria kemudian mempertunjukkan "mesin" pembuat antimateri dan bagaimana dia bekerja menghasilkan lawan materi itu. Vittoria juga menjelaskan bagaimana dia bersama ayahnya, Leonardo Vetra, membuat alat "penjebak" antimateri. Alat ini perlu dibuat khusus karena antimateri akan luruh apabila bersen-tuhan dengan materi apa pun, termasuk partikel udara. "Hee...bat," Kohler terbata memuji seraya terbatuk batuk.
Karya besar Vittoria memang hanya imajinasi Dan Brown di novelnya, -Angels & Demons, yang terbit sepuluh tahun lalu. Imajinasi Dan Brown itu menjadi kenyataan sekarang. Kolaborasi fisikawan partikel dari 15 perguruan tinggi pelbagai negara yang tergabung di tim Alpha CERN berhasil membuat dan memerangkap antimateri antihidrogen. Hasil penelitian mereka ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi 17 November lalu.
Paul Adrien Maurice Dirac, fisikawan asal Inggris, pertama kali mencetuskan teori soal keberadaan antimateri pada 1928. Dia mengkombinasikan teori kuantum Erwin Schrodinger Werner Heisenberg dengan teori relativitas khusus Albert Einstein. Dirac, yang kala itu baru berusia 26 tahun, mengatakan setiap keberadaan partikel pasti diikuti pasangannya, antipartikel, yang berbeda muatan. Misalnya, jika ada elektron, akan ada antielektron yang sama dalam segala hal kecuali antielektron ini memuat listrik positif.
Serupa dengan bayangan di cermin, ketika ada materi, akan ada pula pasang-annya, antimateri. Lalu sekarang ada di mana antimateri ini? Antimateri sudah sekian lama menghilang. Para fisikawan berteori, setelah terjadi ledakan besar (Big Bang) yang mengawali terciptanya alam semesta, lahirlah materi dan juga pasangannya, antimateri, dalam jumlah hampir sama. Jumlah materi sedikit lebih banyak daripada antimateri.
"Cacat simetri di awal alam semesta inilah yang membuat jumlah antimateri terus menyusut," kata Terry Mart, fisikawan dari Universitas Indonesia. Antimateri berumur pendek karena, ketika bertumbukan dengan materi, ia akan meluruh. Apalagi, menurut Laksana Tri Handoko, fisikawan dari Pusat Penelitian Fisika, antimateri cenderung tidak stabil. Pada akhirnya, walaupun sama sekali belum terang benar bagaimana prosesnya, hampir seluruh semesta hanya tersusun dari materi.
Dengan memelototi sifat antimateri, jawaban atas pertanyaan terbesar dalam dunia fisika partikel itu mungkin bisa sedikit tersingkap. Yang jadi soal, mengamati sifat dan perilaku antimateri bukan soal gampang. Fisikawan CERN berhasil membuat sembilan atom antimateri antihidrogen pertama kali pada 1995. Namun antihidrogen itu melintas dengan kecepatan cahaya sehingga mustahil bisa diamati. Dua tahun kemudian, peneliti di Fermilab, Chicago, Amerika Serikat, juga berhasil membuat ratusan atom antihidrogen. Tapi, sekali lagi, atom itu hanya tampak selama beberapa mikrodetik dan kemudian luruh setelah menumbuk materi. Uji coba tim Athena CERN pada 2002 pun belum mampu menahan lama umur antimateri.
Setelah lewat 15 tahun, baru kali inilah para fisikawan partikel berhasil menangkap dan menjebak 38 atom antihidrogen. Walaupun tim Alpha CERN hanya mampu menahan atom antihidrogen selama 170 milidetik, Cliff Surko, fisikawan dari University of Ca-lifornia, San Diego, menilainya sebagai satu kemajuan besar.
Untuk menghasilkan atom antimateri, tim Alpha CERN menautkan 10 juta antiproton dengan 700 juta positron (antielektron) dengan menggunakan medan osilasi listrik. Antiproton sendiri didapat lewat tumbukan proton pada logam dengan kecepatan sangat tinggi dalam perangkat Large Hadron Collider. Sedangkan positron diperoleh dari sumber radioaktif sodium 22.
Yang paling sulit, menurut Joel Fajans, anggota tim Alpha CERN, justru bagaimana memerangkap antihidrogen itu. "Mereka bergerak terlalu cepat," kata Fajans. Selain bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya melintas, temperatur atom atom antihidrogen ini kelewat panas. Untuk mendingin-kan dan memperlambat laju atom antihidrogen, atom atom itu dilewatkan dalam medan magnet octupole.
Dari jutaan atom antihidrogen yang dapat dibuat, hanya 38 atom yang bisa dihambat lajunya dan ditangkap. Itu pun perlu 335 kali uji coba. "Memerangkap antihidrogen ribuan kali lebih sulit daripada membuatnya," kata Fa-jans. Dan 38 atom itu pun hanya berumur sepersekian detik. "Hanya beberapa detik sudah menyenangkan, walaupun kalau bisa bertahan selamanya tentu lebih bagus." Walhasil, tak banyak informasi yang didapat dari 38 atom antihidrogen itu.
l l l Ketika setengah gram antimateri dibawa kabur dari laboratorium bawah tanah CERN dan disembunyikan di salah satu lorong Vatikan, negara kecil itu panik. Sebab, bila setengah gram antimateri yang kira kira sebesar sebutir beras itu bersentuhan dengan materi apa pun dan meledak, kekuatannya setara dengan 5.000 ton dinamit. Pusat gereja Katolik itu akan berubah menjadi kubangan besar. Tapi untunglah "bom antimateri" hanya terjadi di novel Dan Brown.
Energi yang dihasilkan dari tum-bukan antimateri dengan materi memang luar biasa besar. "Satu kilogram antimateri saja bisa menghancurkan satu kota besar," kata Terry Mart. Kekuatan ledakan satu kilogram antimateri kira kira setara dengan 3.000 bom atom yang dijatuhkan di Kota Hiroshima, Jepang.
Untungnya lagi, bom antimateri ini hanya akan mungkin terjadi dalam angan angan Dan Brown. Sebab, menurut Jeffery Hangst, juru bicara tim Alpha CERN, untuk mendapatkan satu gram antimateri saja, perlu waktu 300 miliar tahun. Dan karena sifatnya yang sangat tidak stabil, sampai sekarang juga belum ada teknologi yang cukup aman untuk menyimpannya.
Seperti halnya bom antimateri, berharap antimateri menjadi sumber energi besar seperti ketika antimateri menjadi bahan bakar pesawat penjelajah angkasa USS Enterprise di film seri Star Trek pun hanya impian belaka. "Sama sekali tidak efisien," kata Cliff Surko. "Kalaupun efisiensinya bisa digenjot, berapa banyak antimateri yang bisa dibuat?"
Antimateri adalah materi paling mahal. Badan Antariksa Amerika Serikat memperkirakan, untuk mendapatkan satu gram antimateri, butuh biaya US$ 62 triliun. Dengan semua halangan itu, Vatikan tak perlu takut tulisan Dan Brown menjadi kenyataan.
Sapto Pradityo (BBC, ScienceNow, Guardian, Independent)
Langganan:
Postingan (Atom)